Senin, 13 Juni 2011

cerita sindiran buat temen gue, Slamet! wkwkwk

Meniti Jembatan Hati

Nanda kesal, ia bergegas menuju kelas XII IPS 1, kelas yang berada di lantai paling bawah. Ia menuruni anak-anak tangga satu persatu dan menyusuri lorong-lorong kelas. Derap langkah kakinya terdengar tergesa-gesa.
Sesampainya didepan kelas yang dituju, tanpa basa-basi lagi ia tanyakan keberadaan orang yang dicarinya pada anak-anak ips yang sedang nongkrong didepan kelas itu. “ Heh, Slamet berangkat nggak? Mana orangnya?!”
“ Di kelas tuh, cari aja.” ucap salah seorang diantaranya.
Tanpa mengucapkan terima kasih, Nanda langsung masuk ke kelas tanpa permisi lagi. Dicarinya “teroris” yang membuatnya kesal, matanya berkeliling mencari-cari wajah yang memuakkan itu.
Disitu, ya disitu… disudut sana, ia sedang asyik bercanda denga teman-teman ceweknya. “ Kurangajar” bathin Nanda.
“ Heh, pembohong! Sini kamu!” ucap Nanda marah.
Slamet yang kaget melihat kehadiran Nanda di kelasnya sontak ia melarikan diri sambil mesam-mesem nggak jelas. Nanda jadi gemas melihatnya. Segera ia ambil ancang-ancang untuk mengejar cowok tengil itu.
“ Hey, Slamet. Jangan lari kamu. Awas ya! Aku nggak terima. Hey! Jangan lari!!”
Terjadi kejar-kejaran antara mereka. Slamet lari didepan seperti maling dikejar massa karna ketangkap basah mencopet dompet orang lain. Sedangkan Nanda yang mengejar dibelakangnya lebih mirip petugas kamtib megejar para pedagang asongan yang ngeyel tetap berjualan di pinggir jalan.
Gubrak…. Gedubraggkkk… Prang….
Semua yang menghalangi, mereka sikat. Ditabraknya tanpa ampun. Kursi, meja, pot tanaman, bahkan pesuruh sekolah yang sedang membawa nampan berisi gelas-gelas minuman guru pun mereka tabrak dengan kejamnya. Pak Mansur dibuat kaget,
“ Halah, halah, bocah… pecah kabean gelas-gelase nduk… mbandel banget sih ya??(halah, halah, nak… pecah semua gelas-gelasnya nak… bandel sekali sih??)” ucap pak Mansur memaki, gaya bicaranya yang njawa membuat semua siswa yang melihat tertawa cekikikan. Kik… kik… kik….
“ Maaf pak Mansur, nggak sengaja. Lagi ngejar teroris nih!!” ucap Nanda dari kejauhan.
Kejar-kejaran semakin seru, kini mereka memasuki kawasan ekstrim diatas lantai 3. Slamet yang menemukan jalan buntu tak bisa menghindar lagi! Giliran Nanda yang kesenangan melihat musuhnya bingung.
“ He… he… he…, mau lari kemana lagi kamu Slamet? Dasar teroris! Ngapai kamu menyebarkan gossip segala? Ngapain juga kamu memfitnah aku? Pake memutarbalikkan fakta lagi. Apa sih mau kamu? Udah cukup sabar aku sama kamu selama ini. Apa mau kamu? Hahhh… apa???” teriak Nanda kesal, kecewa, dan marah. Marah sekali sampai-sampai matanya melotot, seperti mau copot saja.
“ Nan, bukannya begitu. Kemarin aku cuma bercanda, keceplosan Nan. Sumpah aku nggak punya niat buat fitnah kamu. Sumpah!” kata Slamet membela diri.
“ Nggak usah sumpah-sumpah segala. Aku nggak butuh sumpah kamu. Nggak bisa dipertanggungjawabin.” Bentak Nanda masih kesal, kesal sekali.
Kali ini Nanda membawa sapu, tepatnya gagang sapu yang ia pegang. Slamet yang tersudut tak dapat berkutik lagi. Mati kutu.
“ Sekarang kamu nggak akan bisa kabur. Ayo, mau lari kemana lagi kamu Met? Mau terjun? Silakan kalo mau mati.” ucap Nanda bernada mengancam.
“ Siapa yang dari tadi membuat keributan?? Kamu! Kamu!” seseorang menunjuk-nunjuk kearah mereka.
Nanda dan Slamet hanya bisa diam dan melongo melihat sosok yang baru saja menegur mereka.

Suasana hening di ruang itu, ruangan yang tak terlalu lebar. Ruang isolasi, tempat hukuman bagi para pembuat onar atau anak-anak pembangkang.
Hanya ada Nanda, Slamet dan pak Suwarno yang berada didalam ruang itu. Menceramahi satu-satu dari Nanda dan Slamet. Mereka hanya terdiam dan menundukkan kepala, tak berani menatap wajah sangar guru BP yang terkenal galaknya minta ampun itu.
“ Sudah saya peringatkan berulang-ulang kali. Semua murid di sekolah ini kok sama saja! Tidak ada yang nurut. Selalu membuat ulah yang macam-macam!!” gerutu pak Warno heran dengan ulah murid-muridnya.
Meski sama-sama diam dan tak banyak omong. Nanda dan Slamet belum jera, mereka masih sikut-sikutan dan mencela satu sama lain.
“ Kamu Slamet! Katanya kamu teroris, memangnya kamu buat ulah apa lagi? Membawa bom di sekolah ini??” tanya pak Warno keras.
“ Nggak pak, nggak! Merakit rangkaian lampu paralel aja udah buat saya njelimet, apalagi merakit bom pak. Bohong itu, fitnah. Dia tuh ngarang.” Slamet menunjuk kearahnya. Lagi-lagi membuat Nanda kesal.
“ Eh!!!” hardik Nanda, “ sembarangan!! Ngapain mutarbalikan fakta lagi? Fitnah-fitnah aku segala! Kamu tuh yang fitnah aku dari kemaren! Dia tuh pak, Slamet. Teroris plus koruptor di sekolah kita.” Ucap Nanda keras setengah berteriak.
“ Nan, jangan nuduh gitu dong? Apanya yang teroris? Apanya yang korup….”
“ Diam kamu Met!!!!!” teriak Nanda sekencang-kencangnya sambil melotot tajam kearah Slamet.
Slamet dan pak Warno sendiri langsung tutup telinga mendengar teriakkan Nanda yang minta ampun kersnya, seperti mendengar dentuman bom yang meledak.
“ Nanda! Apa ini maksudnya??” tanya pak Warno heran, tak mengerti apa masalah mereka sebenarnya. Nada bicara pak Warno lucu sekali, mukanya apalagi, mirip iklan pajak ditelevisi beberapa bulan yang lalu. “ Apa kata dunia???”

tiga hari yang lalu, anak-anak ribut mengomentari dirinya. Bertanya ini dan itu, lalu banyak yang mengambil kesimpulan sendiri. Kesimpulan yang salah tentunya. Namanya juga gossip, pasti cepat sekali menyebar seantero sekolah. Kabar burung itu, yang belum pasti kebenarannya mengusik ketenangan Ananda pagi itu.
“ Nan, bener nggak sih beritanya? Aduh kok kamu serendah itu sih??” komentar Narla kecewa.
“ Iya, Nan. Bener nggak sih beritanya? Aku masih belum percaya dech, klarifikasi dong kebenarannya? Biar kita nggak nganggap kamu munafik.” Tambah Sherra tak kalah kecewanya.
Nanda sendiri sontak langsung kaget dan tak percaya kata-kata temannya tadi. “ Munafik? Aku?” tunjuk Nanda pada dirinya sendiri.
Nanda semakin bingung saja saat melihat tatapan dari teman-teman yang lain, Tatapan yang sinis. Seolah semua orang yang bertemu dengannya telah menghakimi dirinya dengan tidak etis sekali, mendiamkannya tanpa sebab. Hanya beberapa teman akrab Nanda sajalah yang masih setia menemani Ananda yang sedang bingung dan sedih karna tiba-tiba dimusuhi.
“ Hu… hu… hu… uuuuu…” Nanda menangis tersedu-sedu di kamarnya.
“ Udah jangan nangis terus dong Nan. Masa gitu aja kamu nge-drop? Katanya kamu cewek kuat, ntar imej Ananda yang tegas dan galak ilang dech. Jadi Ananda yang cengeng dan lembek. Udah dong… cup… cup… cup.” Ucap Sherra menghentikan tangisnya.
“ Iya, iya. Udah Nan. Daripada nangis melulu, mending kamu selidiki siapa dalang dibalik semua ini.” Tutur Narla memberi saran.
Aha!! Benar sekali ucapan Narla tadi. “ Pokoknya aku harus nemuin biang keladi dari semua ini. Teroris itu harus kutangkap!” ucap Nanda dalam hati.
“ Hu… hu… huuuu….”
“ Aduh kenapa lagi sih nih anak? Nan udah dong, kok jadi cengeng sih? Aduh Nanda payah!” kelakar Narla dan Sherra heran terhadap sikap Nanda.
“ Ehmmm… abis aku masih nggak abis pikir aja, kenapa ‘dia’ tega-teganya nyebarin gossip itu dan bilang kalau aku ini… huuu… aku ini cewek nggak bener dan suka pacaran sama om-om… huaaaaaa….” Tangis Nanda makin kencang.
“ Ehmmm… padahalkan dari SMP sampai sekarang aku belum pernah sekalipun pacaran! Kenapa sih dia bilang begitu sama anak-anak??” Nanda semakin ngomong tidak karuan ditengah-tengah isak tangisnya.
Shrooooottt… ingus dari hidungnya keluar dan disedot lagi. Shraaat… shroooottt….
Narla dan Sherra sebenarnya tak tahan dengan pemandangan itu. Ingin sekali mereka tertawa terbahak-bahak melihat tingkah polah dari sahabatnya itu. Biasanya Nanda tak pernah sesedih itu menanggapi gossip atau berita-berita tak jelas dari orang yang dengki padanya. Ia anggap ocehan-ocehan itu sebagai angin lalu saja. Tapi kali ini berbeda, mungkin karna kali ini menyangkut masalah harga diri Nanda yang sebelumnya tak pernah terusik oleh siapapun. Baginya harga diri merupakan citra diri seseorang, harga diri seorang cewek akan menentukan citra diri yang positif atau negatif. Jika kelakuan seseorang sudah menyimpang dan tak punya harga diri lagi, maka sudah tentu citranya akan ternoda dengan kenegatifan yang diakibatkannya.
Narla dan Sherra kembali dari toilet. Sebelumnya mereka membuat alasan klise itu untuk bisa tertawa sepuasnya diluar kamar Nanda. Setibanya di kamar, Nanda terlihat lebih baik, tangisnya telah mereda.
Mereka bertiga duduk rapi diatas ranjang. Diam, namun sedang berpikir tentang siapa dalang dari gossip itu. Penyebar kebohongan dan fitnah itu.
Narla melintir-lintir rambutnya yang panjang. Mengingat-ingat teman sekolahnya yang estafet sebar-sebaran gossip kemarin. Semakin diingat semakin sulit saja, rumit, njelimet, dan kusut! Seperti rambutnya yang terpelintir acak-acakan. Narla kalap dan ribut sendiri dibuatnya. “ Aduh, rambutku!!” ia ngacir langsung kedepan cermin, menyisir dan merapikan rambutnya itu.
Sherra lain lagi. Ia mencoba menganalisis hal-hal yang berkaitan dengan gossip itu. Ia asyik membolak-balik buku bacaannya. Dari buku yang satu ganti dengan buku atau majalah dan koran-koran lain. Ia serius, sampai-sampai ia tak sadar kacamatanya telah bergeser turun kehidungnya. Tampak lucu, mata kemana kacamata dimana.
Ananda pun berbeda lagi. Ia justru asyik melahap makanannya. Kue nastar kesukaanya satu toples ia pegang erat. Satu persatu masuk kedalam mulutnya. Sambil terus berpikir dan terus menggerutu, mengumpat sang teroris penyebar fitnah itu. “ Dasar tukang fitnah, pembohong yang asal-asalan saja. Memang siapa dia berani-beraninya fitnah aku? Emang udah pernah liat aku beneran jalan sama om-om apa? Dia nggak tahu sih kemarin aku tuh jalan-jalannya sama pakdhe Burhan, ayahnya mas Adi, sepupuku yang dari Solo. Dasar gila tuh orang!” umpat Nanda sembari mengunyah kue nastar, penuh dimulutnya.
“ Idih, kira-kira dong makannya Nan. Muncrat kemana-mana tahu!” ungkap Narla jengkel melihatnya.
“ Nah ketemu!!” teriak Sherra girang, “ aku tahu Nan, aku tahu kuncinya. Orang yang neror kamu dengan gossip-gossip itu Nan.” Sherra mengguncang-guncangkan tubuh Nanda.
Nanda jadi tersedak dibuatnya. Cepat-cepat ia turun dan mengambil air minum. Nanda dan Narla mengerubungi Sherra yang tengah kegirangan. Sepertinya analisis yang dilakukannya berhasil.
“ Nih!!” tunjuk Sherra pada sebuah tulisan dibukunya. Mereka tak mengerti.
“ Begini uraiannya : Terkadang masalah yang muncul pada diri kita diakibatkan dari kesalahan dan kecerobohan yang kita lakuka sebelumnya.” Ucap Sherra mengutip sebagian isi buku itu.
“ Maksudnya giamana Sher?” tanya Nanda bingung.
“ Maksudnya adalah mungkin sebelum masalah Nanda ini muncul, sebelumnya Nanda pernah berbuat kesalahan pada seseorang. Sehingga orang yang Nanda buat sakit hati itu membalasnya dengan cara yang hampir mirip dengan apa yang pernah Nanda lakukan padanya.” Urai Sherra panjang bak kereta api. “ Jadi intinya…??”
Semua berpikir dan mencerna maksud penjelasan Sherra tadi. Kening mereka berkerut, berpikir keras. Hingga akhirnya semua kompak menduga…
“ Slamet!!!”

Ingatan Nanda jauh menerawang keasal-muasal perkara. Mengaitkan masalahnya dengan masalah yang dulu. Tentang masalahnya dengan Slamet.
Nanda dan Slamet adalah pasangan dalam inti organisasi Pramuka di sekolahnya. Tepatnya pasangan dalam bidang keungan, bendahara.
Sejak semula sebenarnya Nanda sudah tak setuju dirinya dipasangkan dengan cowok tengil itu. Bagaimana tidak, Nanda mengenal Slamet sebagai pribadi yang nyeleneh. Dari gaya bicaranya, ucapanya, sikapnya dan pemikirannya. Semua merupakan hal yang sangat tidak disukai oalehnya. Namun apa mau dikata, seniornya telah menetapkan itu, keputusan yang tak dapat diganggu gugat lagi. Pasrahlah. Bodoh!!!
Dan lebih tak disangka lagi. Slamet yang telah dipercaya untuk memegang uang kas pramuka malah menyeleweng. Untunglah setelahnya Ananda yang mengurusi catatan keuangan dan juga memegang uang tersebut. Sehingga tak seluruhnya disalahgunakan.
Sejak menghilangnya Slamet, karna melarikan diri barangkali. Semua anggota, pengurus pramuka sudah bisa menilai sendiri bagaimana sikap Slamet sebagai bendahara yang tidak bertanggung jawab.
Memasuki kenaikkan kelas XII, dan juga re-organisasi. Nanda dibuat kesal dan marah sekali padanya. Tiba saatnya, seharusnya bendahara sudah membuat laporan pertanggungjawaban keuangannya. Baik itu pemasukan, pengeluaran, dan saldo terakhir. Nanda dibuat kebakaran jenggot karna uang yang dipegang oleh Slamet tak kunjung ia kembalikan. Berulang kali Nanda mendatangi dirinya ke kelas. Bayangkan, hampir setiap hari sewaktu istirahat Nanda “ Ngapel” kekelasnya.
Betapa malu sebenarnya Nanda pada situasi itu. Anak-anak lain yang tak mengetahui masalah itu mungkin akan mengira dirinya sedang ngejar-ngejar, mendekati atau apalah. Namun, hasil dari penagihan itu selalu saja nihil. Ada saja alasan Slamet untuk ngeles. Saking kesal, marah, dan malasnya Nanda padanya. Tak ada jalan lain selain melibatkan pembina untuk mengatasi problem itu. Dan kalau memang sudah tak mempan, jalan terakhir adalah melaporkannya pada kepala sekolah.
Tap… tap… tap….
Derap langkah kaki mendekati kelas itu. Nanda tergesa-gesa menuju kelas XII IPS 1. Setengah berlari ia sampai kedalam kelas, tak peduli entah berapa pasang mata melihat dirinya. Semua sudah hafal padanya dan tak tertarik pada masalahnya, sungguh ironis. Tak ada yang mau membantunya. Ia mencari-cari sosok cowok tengil itu. Slamet telah berjanji akan kekelas Nanda untuk menyetorkan uang kas yang dipegangnya. Tapi lagi-lagi dan terus begitu. Ditunggu tak datang-datang, akhirnya Nanda sendiri yang turun mencarinya.
Kali ini Nanda tak mau ambil pusing. Ia memanggil Slamet seperti dari jarak Anyer-Panarukan. Keras sekali.
“ SLAMEEEEETTT!!!” teriaknya membahana.
Semua anak di kelas itu menutup telinganya secara serempak dan otomatis. Takut jadi tuli.
“ Sini kamu!!”
“ Ada apa sih?? Kamu aja yang kesini. Males ah kesitu.” Jawab Slamet sekehendak hatinya. Dasar tengilnya minta ampun.
“ Enak aja. Sini kamu koruptor kelas teri!! Dasar pembohong amatiran!! Nggak punya otak ya?? Bisa jujur nggak sih? Make uang orang sembarangan!! Nggak bilang-bilang. Dan sekarang nggak mau ganti? Cepet ganti! Jangan ngeles dan alasan-alasan lagi!! Aku udah muak. Muak banget!!” pedas ucapan Nanda saat itu. Tak peduli.
“ Nan, kamu ngomong apa sih?” tanya Slamet heran dan juga ketakutan.
Brakkkkk…… brukkkkkk….
Meja didepan Nanda langsung digebraknya tanpa ampun. Seluruh siswa yang berada diwilayah panas itu mulai menyingkir. Atmosfir kelas kini berubah menjadi sangat panas. Bagai arena tinju atau juga arena padang pasir. Babak baru pertarungan sengit itu dimulai.
“ Jangan pura-pura bego!! Masih tanya padaku?? Hahhh… dasar munafik! Ternyata emang bener dugaanku kalau kamu udah menggelapkan uang kas pramuka yang kamu pegang. Sekarang kamu nggak bisa balikkin kan? Dasar korup. Nyadar dong kalau masih sekolah. Harusnya kamu tanggung konsekuensinya, kalau kamu berani make uang yang bukan hak kamu!!!” ucap Nanda asal, tanpa basa-basi memakinya.
“ Aku udah muak Met!! Hari ini juga aku laporin kamu ke pembina. Camkan itu baik-baik, urusa kamu sekarang sama pembina. P-E-M-B-I-N-A!!” kali ini Nanda menendang kaki meja didepannya.
Bukkkk….
Nanda pergi dengan tenangnya setelah puas memaki cowok tengil itu. Entah apa reaksi dan tanggapan-tanggapan dari teman-temannya setelah kejadian itu, Nanda tak peduli. Ia puas.
“ Awas kamu Nan!! Dasar cewek sok. Belagu. Awas kamu!!” ucap Slamet kesal, menahan amarah, takut, dan rasa malunya.
Kembali Nanda melayangkan tinjunya pada pintu kelas. Ia tak peduli dengan ancaman Slamet. Justru ia semakin kesal dan mangkel dibuatnya.
Brakkk….

Masalah terkadang muncul karena ulah kita sendiri. Kita takkan sadar pada setiap perkataan yang pernah terucap. Sebagian adalah cemoohan yang dapat menynggung perasaan seseorang. Meski sebenarnya niat kita hanya ingin menasehati, namun persepsi orang satu dengan lainnya berbeda. “ Mulutmu adalah Harimaumu.” Pepatah yang mengajarkan kepada kita bahwa menjaga ucapan itu sangatlah penting. Karena sekali kita berkata salah, maka akan menjadi senjata makan tuan yang membahayakan diri sendiri.
Mungkin saja, hal lain yang terjadi akan lebih fatal. Ucapan kita membuat sakit hati orang lain. Ujung-ujungnya, itulah akar dari dendam yang merasuki jiwa.
“ Bisa jadi Slamet ngelakuin hal itu karna dia sakit hati sama kamu Nan.” Ucap Narla menunjuk Nanda.
“ Dan dia balas dendam dengan cara mempermalukan kamu. Seperti yang kamu lakukan waktu itu padanya. Mempermalukan dia didepan umum.” Tambah Sherra berkomentar.
Nanda menggeleng masih belum setuju.
“ Nggak, nggak!! Dia pantes mendapatkan itu. Memang nyatanya dia korupsi kok. Lagian dia itu pengecut. Masa dia balas aku dengan cara menebar gossip dan fitnah segala? Dengan sembunyi-sembunyi pula. Apalagi namanya kalau bukan pengecut?!” bantah Nanda membela diri.
Mereka diam sejenak. Berpikir.
“ Iya, iya. Kamu emang nggak salah Nan, yang salah itu Cuma perbuatan kamu. Nggak seharusnya kamu menghakimi dia dan memaki-maki dia dihadapan teman-teman yang lain. Itu namanya kejam. Tidak manusiawi!!” kali ini Sherra yang mulai kesal dengan sikap Nanda yang tak mau mengalah. Sok dan belagu, seperti yang dikatakankan Slamet.
“ Nan, udah deh. Introspeksi aja. Tokh, kalau emang kamu bener, nggak akan berpengaruh terhadap apapun. Orang bisa menilai sendiri mana yang salah dan mana yang benar.” Narla angkat bicara, ucapan itu ada benarnya.
Lama Ananda merenung. Mencoba menyikapi pendapat dan saran dari teman-temannya.
“ Oke, aku ngaku salah. Besok aku minta maaf pada Slamet.” Ucap Nanda pelan.
Keesokkan harinya Ananda mengajak Slamet untuk berbaikkan dan menyelesaikan konflik yang selama ini membuat mereka menjadi musuh.
“ Met, aku nggak tahu kalau ucapan aku yang dulu udah buat kamu sakit hati. Tapi jujur, aku nggak bermaksud mempermalukan kamu waktu itu.” Ucap Nanda menyesal.
“ Aku juga nggak bermaksud merendahkan kamu kok. Aku Cuma ingin buat kamu sadar. Sebagai cewek kamu harus bisa menjaga ucapan kamu, jangan ceplas-ceplos melulu. Pikirin akibatnya.” Tutur Slamet bijak, tumben sekali sikapnya selembut itu. “ Oh iya, mengenai uang kas itu… sidah aku ganti, aku kasihin ke pembina.”
“ Syukurlah.” Jawab Nanda singkat.
“ Aku minta maaf.” Ucap mereka berdua bersamaan.
Hal terindah yang terbaik terucap dari mulut kita. Kata “maaf” akan mengubah segalanya. Bagai meniti jembatan dihati kita, pelan-pelan menyusurinya. Penuh kehati-hatian untuk mencapai keberanian itu dan mengakui bahwa saling memaafkan adalah solusi terbaik untuk menyelesaikan masalah.
Ananda dan slamet melakukan hal yang benar. Mereka bersahabat kembali dan membuang jauh-jauh egonya. Malah dengan kejadian itu, mereka menjadi lebih dewasa dan akrab.
Aksi kejar-kejaran antara mereka berdua masih sering terjadi, namun dengan suasana berbeda. Dengan canda dan tawa bahagia.tiba Nanda behenti mengejar Slamet, ketika dilihat ternyata Nanda jatuh karna, menabrak pintu kelas!
Gedubrakkkkkk……

Tidak ada komentar:

Posting Komentar